Pages

Labels

Label

Label

Label

Label

Label

Label

Label

Label

Supported by BlogRKI

Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Desember 2011

Biarkan Aku yang Mengundurkan Diri

oleh Sekar Andini Kusmarini pada 18 Januari 2011 pukul 16:42
Kisah ini kembali ku urai bersama kenangan-kenangan yang pernah terlukiskan dalam memori jiwa… Saat semuanya terasa menyesakkan dada, ketika semuanya tak bisa lagi terlukiskan lewat kata-kata.
Aku hanya bisa terpaku meratapi… Secebis rasa yang mesti ku akhiri. Penuh luka dan bersimbah air mata, namun tetap harus dijalani. Meski aku tak pernah meminta ini untuk terjadi.
Percikan iman membuatku begitu yakin atas keputusan ini.. mungkin ini memang jalan terbaik untuk kita. Untuk perjalanan yang telah kita lalui berdua, tanpa adanya Ridho Ilahi.


Kau hadir mengisi kehidupanku. Kau ketuk pintu hatiku, yang membuatku enggan berpaling dan menjauh darimu. Kau hadirkan bunga-bunga asmara antara kita. Hingga sampai saat dimana ku tersadar, entah jalan apa yang sedang kulalui ini. Tanpa petunjuk mana yang benar dan mana yang salah.. karena semua masih nampak abu-abu, belum jelas ujung dari semua ini.


Ku katakan aku telah siap! Mengarungi hidup bersamamu. Pun ku yakin kau siap dengan semua yang terjadi pada kita. Apalagi yang membuatku tak yakin, bahwa kau adalah yang terbaik bagiku? Sementara semuanya begitu indah di jalani bersama, meski masih ilegal.
Kau selalu memberikan harapan serta angan yang entah berujung pada akhir yang bahagia atau sebaliknya, berakhir pada duka nestapa karena telah tersia-sia waktu yang kita lewati bersama.


Ayolah.. apalagi yang membuat kau bungkam. Kau tak pernah sedikitpun mengucap untuk segera menikahiku.. Padahal sikapmu begitu yakin bahwa akulah yang terbaik untukmu. Tapi mengapa sampai saat ini, kau belum juga mendatangi orang tuaku, sementara jauh sebelumnya kau telah mengetuk pintu rumah hatiku, meminta izin masuk namun hanya berani sampai beranda rumah hatiku. Kenapa keberanianmu belum ada?
Tutur katamu manis.. Tapi tak semanis janji-janji yang kau janjikan padaku! Tak terasa, detik demi detik kita jalani bersama, tanpa ada kepastian yang jelas, apa maumu sebenarnya?
Sampai pada kesimpulan.. Belum ada keberanian untuk melangkah. Dengan berbagai alasan yang menjadi pertimbangan, seolah berat sekali ketika kau akan menikahiku padahal terasa enteng jika kita lewati semua ini dalam ketidakhalalan.


Astaghfirullah!
Ku putuskan, setelah aku tersadar dan terbangun dalam impianku selama ini.. Hanya ada dua pilihan yang meski ini berat namun harus segera ku ambil langkah, sebab menunggu keputusan darimu tak membuatku bersabar dan akan semakin menjerumuskanku dalam genangan-genangan dosa tak berujung. Ya..!! Benar. Entah mungkin akan berakhir atau akan di akhiri, itulah yang sedang ku mintakan petunjuk pada-Nya.
Maafkan...
Karena aku belum bisa memberi seperti apa yang telah engkau beri padaku. Bukan soal cinta, bukan soal rasa. Sebab bagiku kedua hal itu telah menjadi momok dalam pikiranku. Aku tak boleh mudah terpancing dengan dua hal tersebut karena justru itu akan membuatku semakin jatuh dan terpuruk seperti dahulu.
Jangan pernah kau katakan cinta padaku, sebelum kau berani menghadap kedua orang tuaku. Ahh, sudah lelah dengan kata 'Berani'. Memang tidak seharusnya aku mengatakan hal itu kepadamu... Siapalah aku ini sehingga bisa membuatmu berani untuk menikahiku?


Sekarang bahkan rasa itu kian menipis. Mungkin karena sudah bosan aku memiliki rasa terhadapmu. Kau katakan aku tidak bersabar? Bisa saja. Aku memang tidak sesabar dirimu, yang entah dengan alasan apa kau mampu bersabar menantiku. Padahal jauh lama sudah, pintu hatiku telah terbuka untukmu.
Maaf. Aku ingin tetap menjaga hatiku, sedikitpun tak ingin terkotori oleh sebuah rasa ini. Ya, ternyata lagi-lagi aku berhadapan dengan yang namanya sebuah perasaan. Entah bagaimana aku mampu menghadapinya. Entah cara apa lagi yang akan ku lakukan. Semua ku pasrahkan...


Segala yang hadir bagai setitis air mata seulas senyuman. Dan, kemudian jiwa jadi terpisahkan dari jiwa yang lebih besar, bergerak di dunia zat melintas bagai  segumpal mega diatas pergunungan. Suka dan duka, bagai sebuah perjalanan... Dan bermuara pada kebahagiaan. Menuju pada keindahan dan kecintaan Tuhan saja...
Atas nama cinta dan demi menjaga keutuhan cinta kita kelak, bila takdir bersama..... Allah kan persatukan...
Biarkan aku  yang mengundurkan diri.

Dari kehidupanmu, kini..

Dan tolong, jangan ganggu aku lagi.


1 komentar:

  1. Wah tulisannya bagus. Mirip dengan kisahku. Salam kenal.

    BalasHapus