Pages

Labels

Label

Label

Label

Label

Label

Label

Label

Label

Supported by BlogRKI

Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Desember 2011

Nuansa Malam

oleh Sekar Andini Kusmarini pada 28 Desember 2010 pukul 20:36
 
 
Sebenarnya, kegelapan mengepung sekitarmu. Tapi jadi tak mengurungmu dalam kemencekaman. Cahaya lampu listrik hasil karya anak manusia, membuatmu tak lagi akrab dengan kegelapan. Sebenarnya kesunyian mengepungmu. Tapi setiap orang di zaman ini, tak begitu akrab lagi dengan kekosongan suara. Pengeras suara dari alat-alat elektronik memecah sunyi, menyemarakkan malam yang tak lagi gulita.


Hujan masih terus mengguyur bumi. Tapi hanya sesuara rerintik yang terdengar di luar sana. Kau kini aman dalam kehangatan kamar. Meringkuk dalam kepulasan tidur di tilam tebal yang lunak, lembut, dan memanjakan. Malam yang gelap, sunyi, dan diguyur hujan, kini tinggal keadaan yang hanya tersangkut dalam goresan pena seorang penyair. Atau seorang yang bukan penyair, namun agak dekat dengan suasana yang galau di hamparan kaki langit hati yang mendung dirundung gerimis: kebingungan yang tak berpangkal tak berujung itu…


Aku di sini, mencoba merasakan lagi sensasi orang-orang zaman dulu. Ketika listrik belum ada, dan pengeras suara elektronik belum lagi hadir untuk memecah keheningan malam di lereng-lereng bukit yang disekap kabut embun. Seperti berada di keaslian rupa dunia. Tanpa embel-embel palsu. Alami. Khas. Murni.
Tapi sayang, aku tak bisa berlama-lama di negeri dan zaman itu. Karena aku bukan anak negeri dan zaman itu. Aku hidup di negeri dan zaman yang penuh dengan ketidakalamian, ketidakaslian, ketidakkhasan, dan ketidakmurnian. Disinilah aku, bak satu noktah kecil pada papan iklan komersial raksasa: “Produk Tata Rias Zaman”.
Hanya bisa tercengang sesaat melihat manusia-manusia kasak-kusuk memperjuangkan kosmetik zaman. Bergulat. Berbohong. Memfitnah. Membunuh. Berperang. Bersandiwara. Menjual nurani. Menggadaikan martabat. Menistakan kemanusiaan. Melecehkan ketuhanan!!!


Tercengang seperti itu di keramaian orang lalu lalang, walau sesaat, sungguh membuatmu tampak bodoh. Lebih parah, engkau pantas malu kalau ternyata engkau menyadari bahwa tindakan itu hanya kepura-puraan: pura-pura asing dengan adat kebiasaan modern. Modern??? Istilah baku merujuk pada kasak-kusuk menatarias dunia: agar keriputnya tenggelam dalam sapuan kosmetik. Si nenek tua tampak awet muda: Layaknya Perawan 17-an. Haha…sebentuk pengkebiran nurani juga!


Lalu aku pun melangkah. Tanpa arah. Hanya menggenapkan keberbauranku dengan sesama. Sama-sama tunggang langgang di panggung kemasabodohan. Mengumpulkan pernak-pernik tata rias zaman. Hanya agar tak terlalu ketinggalan zaman di mata orang-orang. Agar eksis di panggung zaman.
Ah, aku lelah berputar-putar di alam sadarku. Aku ingin katakan kepadamu, Kawan. Bahwa sebenarnya, engkau tau apa yang kumaksudkan itu bukanlah tentang gelap, sunyi, dan efek hujan yang lenyap di alam modern ini. Ini murni tentang analogi nurani yang tak sempurna dijabarkan. Tentang nurani para pemuka agama. Tentang nurani para politisi. Tentang nurani rakyat banyak. Itulah. Memang itulah…


Malam masih sama, Kawan. Langitnya gelap, pada puncaknya sunyi, dan hujan malam ini mengguyur dunia yang kian renta. Tapi, nuansanya berbeda sekali….


0 komentar:

Posting Komentar